Assalamu’alaikum Wr Wb.
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk bertanya.
Sedari kecil, saya diajari bahwa segala bentuk ibadah harus dengan niat. Saya sudah hafal hadis yang membicarakan tentang itu.
Dan yang paling saya ingat ketika saya mengaji fikih di kampung, sang Ustaz selalu mengatakan bahwa niat itu harus dibarengi dengan pekerjaannya.
Sang Ustadz mencontohkan ketika kita wudhu. Sahnya wudhu adalah dengan niat. Niat wudhu dihitung sah ketika kita mulai membasuh muka. Jika niatnya tidak di saat itu, misalnya kita niat wudhu di saat mencuci tangan, maka wudhu tidak sah.
Mengapa tidak sah? Karena mencuci tangan bukan awal dari rukun wudhu. Mencuci tangan hanya sebatas sunah. Disini jelas, bahwa niat dianggap sah ketika digabungkan atau dibarengi dengan pekerjaannya.
Apakah sesulit itu Ustaz?
Bukankah dengan melihat keran air saja dan kita berniat wudhu juga sudah cukup? Secara logika saja sudah dimengerti bahwa dengan cara itu saja kita sudah ada keinginan berwudhu, mengapa tidak dianggap cukup?
Dan jika saya perhatikan lebih dalam, ternyata hal ini bertentangan dengan hadis Rasulullah SAW tentang puasa Ramadhan berikut:
“Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar subuh, maka tidak ada puasa baginya.”
Hadis diatas dapat kita pahami bahwa niat puasa Ramadhan dilaksanakan di malam hari atau selambat-lambatnya menjelang waktu subuh.
Dari sini jelas bahwa niat puasa ramadhan ternyata tidak berbarengan dengan pekerjaannya atau puasanya bukan?
Dan satu lagi pak Ustaz, dari kecil saya diajarkan bahwa niat itu harus diucapkan. Misalnya niat shalat harus baca Ushalli sebelum takbir. Bukankah niat cukup dalam hati? Dan setelah saya dewasa, ternyata baca ushalli itu tidak ada contohnya dari Rasulullah. Hal itu saya fahami dari salah satu Ustaz yang sudah wara-wiri di youtube.
jika tidak ada contoh dari Nabi, berarti baca Ushali sebelum shalat itu bid’ah dong ya? Jika hal itu termasuk bid’ah, berarti shalat kita malah jadi tidak sah dan menyebabkan kita masuk neraka. Shalat kok malah jadi masuk neraka?
Sebetulya banyak contoh-contoh ibadah lainnya yang saya lakukan sejak kecil ternyata banyak yang salah dan bid’ah.
Namun pada kesempatan ini saya tidak mau bertanya hal-hal lainnya pak Ustaz. Saya hanya ingin fokus pada pembahasan masalah niat tadi pak Ustaz.
Demikian pertanyaan saya dan mohon maaf bila terlalu panjang.
Terima kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr wb.
Yang pertama kami cukup senang karena anda termasuk orang yang kritis dan hati-hati dalam beribadah.
Baiklah, kita fokuskan dulu pembahasan masalah niat agar anda memahami dengan benar dan menghilangkan galau anda.
Yang pertama, kita harus membedakan antara niat dengan azam.
Betul, bahwa niat itu adalah kemauan hati (secara sengaja) untuk melakukan sesuatu dan harus dibarengi atau digabungkan dengan pekerjaannya. Sedangkan jika kemauan hati itu dikerjakan lebih dulu dari pekerjaannya, namanya azam, bukan niat.
Mengenai keterangan tersebut, kita bisa mengaksesnya melalaui kitab Fath Al-Qarib sebagai berikut:
النية وحقيقتها شرعاً قصد الشيء مقترناً بفعله، فإن تراخى عنه سمي عزماً
Hakikat niat secara syara’ adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya. Jika melakukannya lebih akhir dari pada kesengajaannya, maka disebut ‘azam.
Mengapa para ulama membedakan azam dengan niat? Ya mudah sekali menjawabnya.
Dikatakan niat jika memang hal itu terjadi dengan pekerjaannya. Sedangkan azam belum tentu jadi mengerjakan sesuatu. Azam baru pada tahap ingin, belum tentu direalisasikan.
Contoh azam:
Anda melihat keran air dan berkeinginan untuk wudhu. Ketika anda hendak menuju keran air, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah Anda. Tak lama kemudian Anda spontan menuju pintu dan membukanya.
Setelah membuka pintu, ternyata yang mengetuknya adalah salah satu kerabat Anda dan terjadilah perbincangan yang lama. Jika demikian, anda tidak jadi berwudhu kan?
Satu lagi, contoh nyata yang bukan niat walapun secara nyata melakukan seluruh gerakan yang sama persis dengan wudhu, misalnya:
Bangun dari tempat tidur, Malih berjalan menuju keran air. Sesampainya di hadapan keran air, malih berwudhu. Setelah selesai wudhu, Malih kembali menuju tempat tidurnya dan dus! Malih tidur kembali.
Ternyata Malih sedang mengigau. Apakah bisa kita mengatakan bahwa Malih benar-benar sah wudhu’nya? Jawabnnya jelas tidak! Walapun secara zahir malih berwudhu, namun dia tidak berniat wudhu betulan. Dia ngigau!
Satu lagi contohnya:
Dihadapan para muridnya, Kong Ali berkata: “Anak-anak, sekarang Engkong mau nyontohin care wudhu yang bener. Liatin nih, jangan pade bengong apelagi becande.”
Setelah itu, Kong Ali melakukan gerakan wudu dari A sampai Z.
Dari kasus diatas, apakah kita bisa mengatakan bahwa Kong Ali benar-benar berwudhu dan sah wudhu’nya? Jawabannya tentu tidak. Kong Ali Cuma pura-pura wudhu!
Sampai disini, semoga Anda bisa memahami bahwa niat secara syara’ hanya bisa dilakukan dengan kesengajaan dan harus berbarengan dengan pekerjaannya,
Satu contoh lagi agar Anda lebih yakin dan faham bahwa niat tidak cukup hanya dengan keinginan saja.
Si Brodus melihat motor baru yang terpakir di halaman salah satu toko retail. Karena suasana sedang sepi, Brodus berkeinginan mencuri motor tersebut.
Setelah tengok sana-sini dan menganggap suasana kondusif, Brodus mendekati motor tersebut. Ketika jarak Brodus dan motor incarannya itu hanya hanya berjarak 5 cm, pemilik motor membuka pintu toko retail tersebut. Spontan Brodus menjauh dari motor!
Dari kasus di atas, apakah kita mengatakan bahwa Brodus dihukumi mencuri hanya gara-gara dia berkeinginan dalam hatinya untuk mencuri motor tersebut?
Brodus dihukumi mencuri motor itu jika benar-benar ia berhasil membawa kabur motor tersebut.
Semoga dengan contoh beberapa kasus diatas Anda memahami hakikat niat secara syara’ dan bisa membedakannnya dengan azam.
Dan terbukti, para ulama kita sangat brilian dan hati-hati sekali terhadap ibadah. Alangkah sombongnya kita jika menilai para ulama keliru hanya karena memaksakan pemahaman bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah adalah bid’ah.
Lalu bagaimana dengan niat puasa Ramadhan, bukankah tidak dibarengi dengan pekerjaanya?
Baik, semoga Anda bersabar untuk menyimak penjelasan kami berijut ini.
Betul, hadis yang Anda maksud adalah:
عَنْ حَفْصَةَ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
Dari Hafshah RA, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:“Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum terbit fajar, tidak ada puasa baginya.” (HR. Nasa’i).
Para ulama sepakat dengan keshahihan hadis ini dan ijma’ bahwa puasa wajib harus diniakan malam hari atau setidaknya sebelum waktu subuh.
Betul yang Anda katakan, bahwa ternyata niat puasa tidak berbarengan dengan pelaksanaan puasannya. Anda tetap dan tidak salah sama sekali!
Menurut para ulama, hadis ini menjadi pengecualian terhadap sahnya niat yang harus dibarengi dengan pekerjaannya. Sekali lagi, niat puasa wajib memang tidak berbarenagn dengan pekerjaan puasannya, Ini pengecualian.
Darimana para ulama menjadikan kasus niat puasa wajib menjadi pengecualian? Jawabnya adalah dengan melihat fakta hadis inilah satu-satunya yang secara spesifik nabi mengatakan bahwa sahnya niat harus dilakukan sebelum fajar. Sedangkan untuk ibadah lainnya, Nabi tidak secara detail menjelaskan.
Lalu apa hikmahnya jika niat puasa wajib tidak harus berbarengan dengan pekerjaannya?
Salah satu hikmahnya adalah kemudahan atau keringanan bagi kita untuk melakukan niat puasa tersebut. Jika memang niat puasa wajib harus berbarengan dengan masuknya waktu subuh, tentu sangat menyulitkan. Jika ini memang harus nyata terjadi, bagaimana dengan orang yang ketiduran dan bangun setelah masuk waktu fajar atau subuh?
Sebagaimana yang Anda minta bahwa kita hanya fokus membahas masalah niat dalam beribadah, maka kami cukupkan pembahasan tersebut.
Satu saran kami, sebaiknya Anda tidak terburu-buru memvonis bahwa hampir semua tata cara ibadah yang kita lakukan sejak kecil adalah suatu kesalahan besar dan bid’ah.
Para ulama kita di tanah air bukanlah anak kemarin sore yang baru bisa baca terjemahan suatu kitab lalu berfatwa. Para ulama kita bertahun-tahun mondok di pesantren bahkan ada yang bertahun-tahun belajar di Timur Tengah dan negara Islam lainnya.
Para ulama kita bermadzhab Syafi’I, salah satu madzhab terbesar di seluruh dunia. Tanpa merendahkan Ustadz-ustadz yang masif di youtube atau sosial media, mereka banyak sekali berfatwa atau setidaknya membahas tata cara ibadah di luar madzhab syafi’i. Hal inilah yang membuat orang awam bingung. Sudah jelas sekali bahwa umat Islam Indonesia mayoritas bermadzhab Syafi’i, lalu mengapa mereka membawa ajaran di luar madzhab Syafi’i dan dengan mudahnya menyampaikan bahwa tata cara ibadah dan kebiasaan orang Indonesia adalah bid’ah dan menyesatkan!
Tapi semua keputusan dan sikap ada di tangan Anda. Jika Anda lebih yakin dengan fatwa atau ajaran ustadz-ustadz yang suka sekali membid’ahkan umat Islam, kami tidak bisa berbuat apa-apa.
api satu hal yang kami harapkan. Sekalipun Anda mengikuti pendapat ustadz-ustadz tersebut, sebaiknya Anda bisa legowo dalam menerima perbedaan pendapat. Jangan paksakan pendapat Anda di hadapan orang-orang yang memang sudah jelas bermadzhab Syafi’i. Jika hal itu Anda lakukan, tentu akan terjadi perpecahan antar umat.
Demikian dan mohon maaf jika jawaban kami kurang berkenan.
Wallahu A’lam.
Foto : Unsplash