Kabar Terbaru

Dengan Rp15 Ribu Dakwah di Negeri Kanguru

CIPUTAT – Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hamba dari Jakarta-Indonesia ke Sydney-Australia. Perjalanan pertama ke luar negeri, bukan sekedar jalan-jalan biasa, namun perjalanan yang membawa misi mulia.

Kisah ini berawal dari informasi seorang teman yang juga dai, Ustadz Toif Chasani di Bulan Mei 2013. Dengan penuh semangat beliau memberitahukan melalui pesan singkat bahwa Dompet Dhuafa sedang mencari dai untuk dikirim berdakwah ke luar negeri. Informasi program Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) itu dilihatnya dari selebaran yang menempel di dinding Masjid Fathullah dekat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

Karena informasi itu kami terima di hari terakhir pendaftaran, maka saya pun bergegas menyiapkan segala hal yang menjadi syarat administrasi program tersebut. Alhamdulilah, pengajuan menjadi bagian dalam program Cordofa dapat saya sampaikan ke Dompet Dhuafa tepat pada waktunya. Setelah itu, saya hanya bisa menunggu apa yang Allah akan tentukan selanjutnya.

Sepekan lebih sejak saya mengirimkan pengajuan diri untuk ikut program tersebut belum ada penggilan dari Dompet Dhuafa. Mungkin perlu waktu lama untuk menyeleksi banyaknya proposal yang masuk sehingga saat itu saya tidak merasa khawatir meski masih menaruh harap dipanggil untuk mengikuti tahap seleksi. Hingga suatu hari di awal Juni 2013, saya dan Ustadz Toif bertemu di Kampus Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Beliau menanyakan apakah saya sudah mendapat panggilan dari Dompet Dhuafa untuk proses wawancara. Sebab, dirinya sudah melakukan wawancara hari itu yang perupakan hari terakhir dari dua hari yang disediakan.

Mendengar kabar tersebut, saya mulai khawatir dan langsung menelepon Ustadz Fauzi Qosim selaku koordinator Cordofa. Karena beliau sedang berada di Riau, saya diminta datang langsung ke sekretariat Cordofa. Hari itu juga saya langsung mendatangi sekretariat Cordofa. Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan ikut tahap wawancara dan dinyatakan lulus. Namun posisi saya belum aman karena masih ada tahapan seleksi lainnya.

Dari 20 dai yang lolos seleksi, 10 yang diberangkatkan ke luar negeri, selebihnya bertugas di tanah air.  Kami pun dikarantina sejak 17 Juni hingga 2 Juli 2013 di Pondok Najda, Ciputat. Panitia penyelenggara kegiatan terus memantau hari-per-hari progress calon Dai Ambassador, mulai dari kehadiran, keaktifan berdiskusi, dan keaktifan dalam berbicara bahasa Inggris yang dibimbing oleh seorang bule Muslim asal Australia, para pakar, serta dai senior.

Alhamdulillah, akhirnya Dompet Dhuafa memilih saya sebagai salah satu dai yang akan berdakwah ke luar negeri. Awalnya, saya hanya berharap bisa dikirim ke negara-negara tetangga yang dekat dengan Indonesia, seperti Filipina. Tapi nasib berkata lain, akhirnya Ustadz Fauzi Qosim mengamanahkan saya untuk terjun ke Australia. Keputusan yang di luar ekspektasi saya. Namun, saya mensyukurinya sebagai tantangan baru dakwah di luar negeri ini. Selama ini kegiatan dakwah yang saya jalani hanya di beberapa masjid sejumlah daerah di Indonesia seperti pengajian di Langsa-Aceh, Medan-Sumatera Utara, Bukittingi-Sumatera Barat, Balikpapan-Kalimantan Timur, Jakarta Pusat, dan Tangerang Selatan.

***

Percaya atau tidak, perjalanan ke Australia hanya berbekal uang sebesar Rp15 ribu di kantong saya.

Sejak dinyatakan lulus dan ditetapkan bahwa saya akan ke Australia, belum ada kepastian kapan saya harus berangkat ke negeri Kanguru tersebut. Sebab, ada sejumlah hal yang harus diurus seperti passpor, visa dan lainnya. Bahkan, saya sempat dikirim ke Balikpapan, Kalimantan Timur oleh Dompet Dhuafa untuk berdakwah menggantikan ustadz yang berhalangan, selama empat hari.

Sabtu, 20 Juli 2013, pagi saya tiba kembali di Jakarta setelah tugas di Balikpapan selesai. Hari itu juga saya mendapat informasi bahwa saya harus berangkat ke Australia malam harinya. Itu pun belum ada kepastian pukul berapa pesawat yang akan mengantar saya ke Australia akan take off, sebab tiket pesawat belum saya dapatkan. Di tengah ketidakpastian, saya tetap mempersiapkan diri seperti mengemas barang-barang dan menyelesaikan segala urusan yang belum selesai.

Kepastian jadwal keberangkatan baru saya dapatkan sekitar pukul 20.00 WIB atau jam delapan malam. Diinformasikan, bahwa pesawat saya akan take off dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta pada pukul 22.50 WIB. Semestinya saya harus sudah berada di bandara pada pukul 21.00 WIB untuk check in dan mengurus administrasi di pintu imigrasi bandara. Mengingat kondisi jalanan Jakarta yang hampir tidak pernah lengang, saya khawatir tidak bisa tiba tepat waktu karena terjebak kemacetan.

Dengan sedikit memaksa, saya meminta supir taksi yang mengantar saya ke bandara untuk mempercepat laju kendaraan, dan saya pun tiba di bandara Cengkareng pukul 22.00 WIB. Untuk membayar taksi, saya keluarkan uang Rp 150 ribu dan jumlah yang sama juga saya keluarkan untuk membayar airport tax. Setelah semua pembayaran selesai diurus, saya baru tersadar bahwa sisa uang yang saya pegang hanya Rp 15 ribu.

Akibat kesibukan mengurus berbagai hal, rupanya saya lupa menyiapkan uang sebagai bekal perjalanan. Jangankan uang dolar Australia, rupiah pun hanya tinggal tersisa lembar di saku saya. Karena ini adalah pengalaman pertama ke luar negeri, saya tidak tahu apakah ada hal lain yang harus saya bayar. Maka, dengan keringat dingin, saya masuk menuju pintu imigrasi setelah selesai memasukkan barang ke bagasi. Jika masih ada pembayaran lanjutan di dalam terminal Bandara Soekarno-Hatta atau saat tiba di Bandara Sydney, maka selesailah perjuangan saya sebelum memulai dakwah di Australia.

Tapi syukur alhamdulillah, ternyata saya tidak harus membayar apa-apa lagi hingga tiba di Bandara Sydney. Meski demikian, kecemasan belum berakhir. Saya masih ketar-ketir karena setibanya di Bandara Sydney, saya tidak melihat Mas Putra, perwakilan dari Dompet Dhuafa Australia yang menjemput saya. Sebelum berangkat saya memang tidak sempat melakukan kontak untuk membuat janji, sebab saya pikir setibanya di Bandara Sydney saya bisa menghubunginya melalui telepon genggam. Tapi, ternyata telepon saya tidak bisa melakukan kontak. Selama satu setengah jam saya telusuri pelosok bandara sambil berharap ada orang yang memegang kertas bertuliskan nama saya. Sebab saya dan Mas Putra belum pernah bertemu sehingga kami pasti tidak akan mengenali satu sama lain jika tidak ada konfirmasi dari komunikasi telepon ataupun dari secarik kertas bertuliskan nama.

Sempat terpikir  untuk nekat naik taksi menuju Kantor Dompet Dhuafa Australia yang berada di Bankstown, negara bagian New South Wales. Setelah tiba, nanti saya minta staf Dompet Dhuafa untuk membayar ongkos taksi. Sempat juga terpikir untuk langsung menuju ke Masjid Al-Hijrah di wilayah komunitas Muslim asal Indonesia di Tempe, 9 kilometer sebelah selatan Kota Sydney. Tapi semua rencana itu saya urungkan untuk sementara karena saya yakin ada yang menjemput saya di bandara.

Dalam suhu udara yang sangat dingin itu, akhirnya saya memberanikan diri meminta pertolongan orang lain. Kebetulan saya melihat ada sekelompok orang berwajah melayu di dekat tempat saya berdiri. Setelah saya sapa, ternyata mereka berasal dari Indonesia. Maka, saya meminta tolong untuk menghubungi nomer telepon Mas Putra menggunakan telepon genggam milik salah satu dari mereka.

Ternyata, Mas Putra juga sudah berada di bandara dan sudah cukup lama mencari saya. Dia juga kesulitan mengindentifikasi saya karena belum pernah bertemu sama sekali kecuali melalui perbincangan di e mail. Mas Putra berharap menemukan sosok saya yang berpakaian layaknya ustadz lengkap dengan baju koko dan peci. Tapi, kebetulan saat itu saya justru berpakaian kasual dengan jaket sehingga tidak dikenali. Melalui sambungan telepon itu kami pun berhasil  bertemu dan langsung menuju Kantor Dompet Dhuafa Australia di Bankstown di negara bagian New South Wales.

Langsung Berdakwah

Begitu tiba di Bankstown, saya tidak sempat lagi beristirahat karena sudah harus menjalankan tugas pertama saya dalam misi dakwah di Australia. Ba’da shalat ashar, saya sudah dijemput oleh salah seorang jemaah untuk mengisi ceramah tarawih sekaligus menjadi imam. Kami menempuh perjalanan selama satu jam menggunakan mobil untuk tiba di kediaman salah satu anggota pengajian, tempat digelarnya taklim tersebut. Ada kenyamanan tersendiri ketika puluhan  jemaah pengajian yang sudah menunggu menyambut kedatangan saya. Bukan hanya karena mereka orang Indonesia, tapi semuanya juga berbahasa Minang. Ternyata, para jemaah pengajian tersebut adalah anggota Ikatan Keluarga Padang Panjang, Batipuh, 10 Koto (IKAPABASKO) Australia.

Kebetulan saya sendiri walaupun lahir di Medan, Sumatera Utara, kedua orang tua saya berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat yang juga sering menggunakan Bahasa Minang dalam percakapan sehari-hari bersama keluarga. Jadilah pertemuan itu seperti sebuah reuni keluarga besar asal Minangkabau dan hasilnya saya langsung bisa segera beradaptasi dengan orang-orang tua di dalam komunitas tersebut yang saya anggap sebagai ninik-mamak, sebutan penghormatan untuk orang-orang tua di Minangkabau.

Saya merasa tidak sedang berada di Australia saat berbincang dengan mereka. Saya merasa berada di Rumah Gadang Sumatera Barat. Keakraban ini juga membantu saya dalam beradaptasi dengan cuaca Australia yang mulai masuk musim dingin. Dengan persiapan alakadarnya, saya hanya mengenakan jaket yang tidak cukup tebal dari Jakarta. Kedua telapak tangan saya juga tak terlindungi dari dinginnya suhu yang menusuk tulang. Alhamdulillah, salah satu jamaah yang menyadari keadaan saya berbaik hati memberikan jaket yang lebih tebal.

Pilihan pihak Dompet Dhuafa Australia untuk menempatkan saya mengisi ceramah di IKAPABASKO saya nilai tepat. Untuk berdakwah, seorang dai memang harus dapat segera melebur dengan budaya dan kebiasaan jamaahnya agar tidak dinilai “berjarak” dengan jamaah. Maka, proses tersebut akan sangat mudah dilakukan jika dai dan jamaah berasal dari latar belakang yang sama.

Tapi, bagaimanapun, sebagai dai saya harus siap berinteraksi dengan setiap jamaah dari latar belakang yang berbeda. Maka, saya sangat mensyukuri nikmat Allah yang memberi saya kesempatan untuk mencicipi pengalaman hidup di berbagai komunitas berbeda seperti Melayu, Minang, Jawa, Aceh, Sulawesi, Batak, Sunda dan Betawi. Hal ini cukup banyak membantu saya dalam berinteraksi dengan para jamaah Indonesia yang berada si Sydney.

Selanjutnya, jamaah yang saya hadapi dari hari ke hari selama di Australia semakin beragam, dari berbagai suku Nusantara, bahkan jemaah dari negara lain yang menetap di Negeri Kanguru, seperti Turki, Arab Saudi, Pakistan dan masyarakat asli Australia meski jumlahnya dalam majelis taklim sangat sedikit

Setelah beristirahat sehari, saya mulai berkunjung ke wilayah lain dari negara bagian New South Wales. Di Tempe, saya bersilaturahim dengan  komunitas muslim Indonesia terbesar di Australia. Mereka mengundang saya untuk mengisi taklim di Masjid Al-Hijrah, sebuah masjid yang awalnya adalah gereja yang sudah tidak terpakai. Komunitas muslim Indonesia membelinya untuk dijadikan masjid. Di masjid ini banyak sekali aktivitas dakwah, pendidikan dan sosial.

Alhamdulillah saya mendapatkan kesempatan sekali menyampaikan kultun qabla tarawih di masjid kebanggaan komunitas Muslim asal Indonesia di Australia ini. Seluruh rangkaian salat Tarawih dan Subuh, serta kultum dan ceramah direkam. Jamaah masjid dapat mengaksesnya. Rekaman kultum tarawih  saya di Masjid Al-Hijrah Tempe, Sydney ini juga dapat diakses di http://www.ustream.tv/recorded/36491945.

Jamaah ibu-ibu sangat antusias mendengarkan ceramah dan aktif bertanya. Saya tidak menemukan pemandangan seperti ini di masjid-masjid lain di Sydney dan Newcastle. Selain masjid komunitas Muslim Indonesia ini, tidak ada jamaah ibu-ibu yang ikut mengaji, apalagi ikut aktif dalam tanya jawab di dalam masjid. Saya kira ini bagian dari budaya Indonesia yang memperlakukan laki-laki dan perempuan sama dalam menuntut ilmu dan menyampaikan gagasan di depan umum.

Pemandangan lain yang juga cukup membanggakan saya lihat di Islamic Center Ashabul Kahfi. Di sini justru kaum muda yang terlihat sangat aktif dalam menggerakkan aktifitas keagamaan. Islamic Center yang dibangun oleh tokoh Islam asal Aceh, Abu Dr. T. Chalidin Yakob, JP ini merekrut anak-anak muda yang sebagian besar petugas kesehatan asal Indonesia di New South Wales untuk dikader.

Di Islamic Center yang beralamat di 11 Edge Street, Wiley Park NSW 2195 ini, saya bertemu dengan sejumlah anak muda yang rajin beribadah. Mereka sepertinya solid karena memiliki profesi yang sama sebagai petugas kesehatan di beberapa rumah sakit di New South Wales. Alhamdulillah, saya mendapat dua kali kesempatan ceramah disini. Yang kedua meyampaikan khutbah Jumat sekaligus menjadi imam.

Nampang di Media Setempat

Karena kegiatan dakwah di komunitas-komunitas Muslim Indonesia di Sydney sudah terjadwal jauh-jauh hari sebelumnya, maka Dompet Dhuafa Australia merekomendasikan saya untuk berdakwah di luar kota Sydney. Awalnya DD Australia menghubungi komunitas Muslim Indonesia yang berada di Perth.

Namun mereka tidak dapat menerima karena saya tidak memiliki pandangan keagamaan  yang sama dengan mereka, yaitu Hizbut Tahrir (HT). Saya pun akhirnya direkomendasikan untuk pergi ke Newcastle. Di sini saya merasa beruntung karena bertemu dengan komunitas Muslim yang berasal dari negara yang berbeda-beda. Hanya sedikit Muslim asal Indonesia di sini. Kalaupun ada, sebagian besar mereka adalah mahasiswa yang sedang menyelesaikan studi di The University of Newcastle.

Saya berangkat ke Newcastle dijemput oleh DR. Zulfikar. Ayah muda asal Jakarta yang memiliki dua putra dan istri asal Malaysia ini, sejak SMA sudah berada di Australia.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam setengah dari Sydney, saya tiba di Newcastle dan langsung ditempatkan di rumah Ansari, mahasiswa asal Singapura berdarah India yang belajar di The University of Newcastle. Selama sepekan di Newcastle, banyak kegiatan yang didesain oleh Ansari, mulai dari kultum rutin ba’da dzuhur, imam dan kultum tarawih, hingga memimpin takbiran malam serta pagi saat Hari Raya Idul Fitri 1434 H.

Di Newcastle, saya juga diperkenalkan kepada komunitas mahasiswa Muslim berbagai negara yang sedang menempuh pendidikan S1-S3 di kampus The University of Newcastle. Kami berbuka puasa bersama dan shalat maghrib berjamaah. Saya diberi kesempatan untuk mengimami salat berjamaah tersebut.

Yang tak disangka-sangka, keesokan harinya, di halaman 5 surat kabar Newcastle Herald News edisi Selasa, 6 Agustus 2013 muncul pemberitaan tentang dakwah yang saya isi. Dalam artikel berjudul “Regardless of Race, Colour and Religion, We are All Human”, dimuat gambar dan berita tentang acara buka bersama di kampus The University of Newcastle. “Imam Budi Juliandi leads University of Newcastle students in a prayer at sunset yesterday during Ramadan.” Demikian kutipan di artikel tersebut.

Air mata di Hari Raya

Sebagai negara yang masyarakat muslimnya menjadi minoritas, suasana Idul Fitri hampir tidak terasa di Australia. Saya sendiri masih berada di Newcastle saat Idul Fitri 1434 H yang jatuh pada 8 Agustus 2013. Banyak hal unik saya temui di sini yang berkaitan dengan Hari Raya Idul Fitri sejak malam takbiran.

Ansari meminta saya untuk memimpin takbiran di masjid Sultan Fatih, Midfield Newcastle. Sebelumnya tradisi takbiran ini tidak pernah ada. Kalaupun ada, mereka melakukannya beberapa menit sebelum salat Idul Fitri dimulai. Akhirnya, saya didaulat untuk memimpin takbir di malam Idul Fitri dari pagi hari menjelang shalat Ied. Takbir a la Indonesia saya lantunkan diikuti oleh jamaah masjid. Saya hampir tak kuasa menitikkan air mata, teringat istri, anak-anak saya di Ciputat, ibu, mertua serta keluarga besar yang ada di Medan dan Binjai Sumatera Utara.

Saat itu saya tidak mengisi khutbah Idul Fitri. Maka, kesempatan tersebut saya gunakan untuk mengamati praktik khutbah dan shalat Ied di Masjid Sultan Fatih di Midfield Newcastle. Dari tata cara shalatnya berbeda dengan yang dilakukan umat Islam di Indonesia. Uniknya, ada dua orang yang bertindak sebagai khatib. Khatib pertama membaca muqaddimah dan khatimah khutbah dengan bahasa Arab. Khatib kedua membaca naskah khubah shalat Ied dalam bahasa Inggris.

Menurut informasi yang saya terima dari jamaah lain, tata cara khutbah di Masjid Sultan Fatih ini memang berbeda dibandingkan masjid-masjid lainn di seluruh Australia. Hal ini dikarenakan khatibnya tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Khutbah setiap Jumat pun dilakukan dengan cara yang sama. Isi khutbah dibacakan oleh “khatib kedua”. Khatib pertama hanya membaca muqaddimah, doa dan khatimah saja.

Malangnya, khatib Jumat dan dua hari raya tidak pernah berganti orang. Sebab imam tetap masjid tersebut secara otomatis menjadi khatib Jumat dan dua hari raya sepanjang tahun. Suasana seperti ini tentu sangat membosankan, apalagi menurut keterangan yang disampaikan oleh Ansari, tidak jarang isi khutbah yang disampaikan dari satu Jumat ke Jumat berikutnya adalah naskah khutbah Jumat yang sama.

Setelah selesai shalat Idul Fitri, jamaah dihidangkan panganan Lebaran khas Pakistan karena jamaah Masjid Sultan Fatih ini didominasi oleh Muslim asal Pakistan. Sementara, di luar masjid, tak terlihat suasana Idul Fitri. Semua orang tetap beraktifitas seperti hari-hari kerja lainnya, karena memang Idul Fitri tidak dijadikan hari libur nasional di negara ini.

Suasana Lebaran baru kembali saya temui ketika Ansari mengajak saya bersilaturahim ke rumah iparnya yang asal Malaysia. Kami disuguhi kudapan khas Melayu-Malaysia. Sambil menyantap ketupat raya saya mendengarkan alunan lagu Hari Raya dari Negeri Jiran. Rekaman suara artis Malaysia, Siti Nurhaliza dan Aisyah yang menyanyikan lagu Hari Raya berjudul “Pulanglah” secara bergantian, serasa menusuk qalbu. Jasad saya memang berada di Newcastle, tapi jiwa saya saat itu berada di meja makan di negeri sendiri berkumpul bersama sanak keluarga tercinta. Kembali, air mata berlinang di Hari Raya, mengingat keluarga dan sanak saudara di rumah.

Harapan Muslim Australia kepada Indonesia

Kehadiran saya di Newcastle, ternyata memberikan warna tersendiri dalam dunia dakwah, khususnya di Masjid Sultan Fatih. Saya sempat mengisi taklim di masjid tersebut setelah Ansari mengenalkan saya dengan Direktur Islamic Centre Sultan Fatih Yunus Karra yang berasal dari Turki. Dari perkenalan itu, saya diberi kesempatan sesekali menggantikan imam tetap masjid memimpin shalat fardhu.

Rupanya, jamaah Masjid Sultan Fatih yang mayoritas asal Turki merasa senang ketika saya memimpin shalat. Seperti saya ceritakan di atas, sebelumnya di masjid ini segala kegiatan didominasi oleh imam tetap. Mulai dari shalat fardhu, khutbah dan imam shalat Jumat, bahkan khutbah dan imam shalat Idul Fitri dan Idul Adha hanya dilakukan oleh satu orang. Akibatnya, banyak jamaah yang merasa bosan lalu memilih pindah ke masjid lain.

Kehadiran saya yang dinilai memberi warna, langsung disambut baik jamaah maupun pengurus masjid. Para pengurus masjid berniat menjadikan kegiatan di Masjid Sultan Fatih lebih berwarna. Maka, mereka berharap bisa menjalin kerjasama dengan Dompet Dhuafa agar dapat mengirimkan lebih banyak dai dari Indonesia.

Sebagai bentuk dari keseriusan mereka dan sambutan mereka, maka diadakanlah pertemuan khusus antara pihak Islamic Centre Sultan Fatih, saya selaku Dai Amabassador dan Dompet Dhuafa Australia yang diwakili oleh Mas Putra. Hasil pertemuan itu disepakatilah kerjasama pembinaan berkelanjutan jamaah Masjid Sultan Fatih, Midfield Newcastle oleh dai-dai Dompet Dhuafa Indonesia-Australia.

Artinya, pihak Islamic Centre meminta pengiriman dai-dai asal Indonesia secara bergantian untuk menjadi imam, berdakwah dan membina baca-tulis Al-Qur’an bagi jamaah di masjid tersebut. Ini merupakan terobosan penting dalam penyebaran dakwah Islam di Newcastle, terutama yang berkaitan dengan misi dakwah Cordofa.

Islam di Australia

Benua Australia dihuni oleh masyarakat kulit putih yang datang dari Inggris pada abad ke-18. Mereka menggeser keberadaan suku Aborigin yang merupakan penghuni asli benua tersebut. Dominasi kulit putih dari Inggris itu juga sekaligus membawa agama Kristen ke Australia.

Maka, hingga saat ini Kristen menjadi agama dengan populasi terbesar di Australia. Berdasarkan sensus yang dilakukan pada 2011, jumlah penganut Kristen di Australia sebesar 61,14 persen. Sementara, jumlah muslim hanya 2,46 persen yang didominasi oleh imigran dari Turki, Arab Saudi, Pakistan, Indonesia, Malaysia dan negara berpenduduk muslim lainnya. Yang menarik adalah jumlah penduduk yang mengaku tidak beragama, jumlahnya sangat besar, hingga 22 persen dari total penduduk Australia yang mencapai 23 juta jiwa.

Dari tahun ke tahun, jumlah penganut Kristen di Australia memang semakin menurun. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya gereja yang dibiarkan kosong tanpa jamaah maupun kegiatan. Beberapa dibeli komunitas Muslim untuk dijadikan masjid, seperti yang dilakukan komunitas muslim di Tempe yang membeli gereja kosong untuk dijadikan Masjid Al-Hijrah.

Konstitusi Australia yang dibuat pada 1901 memang melarang pemerintah Persemakmuran (Commonwealth) mencampuri kebebasan beragama warga Australia. Maka, masyarakat bisa bebas memilih agama yang mereka anut dan sekaligus bebas memilih untuk memiliki agama atau menjadi atheis.

Permasalahan ini juga dihadapi oleh umat Muslim asal Indonesia di Australia. Dalam sejarahnya, komunitas muslim Indonesia di Australia terbagi menjadi tiga generasi. Generasi pertama adalah mereka yang masuk pada tahun 1970-an . Mereka datang ke Australia seorang diri untuk mencari kerja serabutan untuk bisa bertahan. Setelah berhasil, mereka mengajak anak dan istrinya yang merupakan generasi kedua. Anak-anak mereka disekolahkan di Austrlia hingga mencapai perguruan tinggi, lalu mencari kerja, berkeluarga lalu melahirkan keturunan yang menjadi generasi ketiga.

Generasi ketiga atau generasi cucu ini kebanyakan tidak bisa berbahasa Indonesia  karena lahir dan besar di Australia. Malangnya, generasi sebelumnya tidak bisa leluasa membentuk anak-anak ini sesuai dengan keinginannya. Sebab, setiap anak yang lahir di Australia otomatis menjadi anak negara dan dilindungi oleh undang-undang negara tersebut.

Mereka yang lahir di Australia berhak atas uang AUD5.000 dari negara untuk perawatannya, ditambah tunjangan untuk membeli susu. Secara hak, anak tersebut juga memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hidup ketika sudah beranjak remaja. Walaupun orangtuanya muslim tapi mereka tidak bisa memaksakan anaknya untuk menjadi muslim juga. Jika orangtua memaksakan atau memukul anak dan si anak tidak terima, ia bisa melaporkannya dan orangtua bisa dipenjara atau didenda.

Persoalannya adalah, bagaimana orangtua mendidik anak di tengah kultur Australia yang bebas dan mayoritas tidak mengenal agama. Sebab aturan hukum di sana seperti mempersempit ruang bagi orang tua untuk mendidik anaknya, terutama setelah anak beranjak remaja.

Persoalan kedua adalah generasi pertama yang datang ke Australia adalah masyarakat umum yang tidak mengerti ilmu agama. Maka, pembinaan agama terhadap anak-anak mereka hampir tidak terjadi. Akibatnya, anak-anak mereka tumbuh dalam kultur Barat tanpa dilandasi dasar-dasar ke-Islaman. Generasi pertama ini baru muncul kesadarannya untuk belajar agama setelah tua. Maka muncullah komunitas-komunitas muslim Indonesia yang baru terbentuk pada 1990-an.

Teori yang mengatakan, ketika orang memasuki usia lanjut maka dia akan semakin relijius mencari nilai-nilai agama dalam kehidupan, ternyata benar. Hal ini saya ketahui dari dialog dengan sejumlah jamaah dari generasi pertama. Kesadaran itulah yang kemudian mendorong mereka untuk membentuk komunitas dan membangun Masjid Al-Hijrah di Tempe yang menjadi awal penyatuan komunitas muslim.

Saat ini mereka mulai haus akan ilmu agama. Namun masalahnya, tidak mudah mendapat pengajar agama di sana mengingat Australia adalah negara dimana muslim menjadi minoritas. Mereka berharap agar orgasniasi-organisasi berbasis Islam memerhatikan mereka dengan mengirim banyak dai untuk mengisi pengajian di majelis-majelis taklim komunitas muslim Indonesia di sana.

Mereka pun mulai menyadari bahwa masa depan anak-anak mereka terancam karena tidak adanya pendidikan agama. Alhamdulillah, saya melihat sudah ada pembinaan agama untuk anak-anak kecil yang dilakukan di beberapa komunitas muslim Indonesia. Sikap Pemerintah Australia yang tidak pernah menghalangi penduduknya untuk beribadah memudahkan para orangtua yang Islami mengarahkan anak-anak mereka untuk mendapat dasar-dasar ke-Islaman yang kuat. Diharapkan, setelah beranjak remaja nanti, anak-anak ini bisa menentukan pilihan yang tepat, yaitu tetap memeluk Islam dengan taat.

Namun, tantangan muslim Indonesia di Australia adalah merangkul para kaum muda yang terlanjur masuk ke dalam kultur Barat. Mereka hanya bisa berharap, dengan semakin aktifnya pembinaan agama di masing-masing komunitas bisa menarik kaum muda tersebut ke dalam lingkungan yang lebih Islami.

Nilai-nilai Islam Negeri Kanguru

Meski mayoritas penduduk Australia adalah penganut Kristen dan Atheis, ternyata nilai-nilai ke-Islaman cukup terasa di negara tersebut. Hal ini saya rasakan dari suasana kota yang nyaman, tertib dan bersih. Dalam Islam disebutkan bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman. Maka, sudah seharusnya umat Muslim menjaga kebersihan lingkungannya. Hal ini sudah dilakukan masyarakat Australia.

Dalam hal lain seperti ketertiban misalnya, juga sangat diperhatikan penduduk Negeri Kanguru. Di jalanan, tidak ada kemacetan dan transportasi yang disediakan juga cukup nyaman. Beberapa kali saya merasakan naik kereta dari satu lokasi dakwah ke lokasi dakwah yang lain. Rasanya jauh lebih nyaman dibandingkan transportasi umum di Jakarta.

Sebetulnya, tidak sedikit masyarakat Australia yang tertarik dengan ajaran Islam. Hal ini saya ketahui ketika memberikan ceramah di tengah mahasiswa yang juga dihadiri banyak mahasiswa asal Australia. Hanya saja, mereka menjadi tidak simpati ketika berinteraksi dengan orang-orang Timur Tengah yang cenderung lebih keras dan kasar.

Maka, ketika bertemu dengan muslim asal Indonesia, mereka sangat antuasias untuk menggali informasi. Ditambah nilai-nilai ke-Islaman yang sudah dijalankan sehari-hari, akan lebih mudah bagi mereka memeluk Islam jika pada saatnya mendapatkan hidayah. Sepengetahuan saya, ada dua alasan mengapa ’bule’ Australia masuk Islam. Pertama, untuk menenuhi kebutuhan spiritualitas sebagai manusia pada umumnya dan itu mereka temukan dalam Islam yang memberikan mereka ketenangan batin. Kedua, melalui jalur perkawinan.

Yang saya lihat, perempuan-perempuan Australia yang menjadi muallaf jusru lebih Islami dibandingkan perempuan muslim Indonesia di sana. Suatu ketika, saat hendak pamit untuk meninggalkan majelis, saya ’memancing’ salah satu dari mereka untuk berjabat tangan dan mereka menolaknya.

Artinya, jika dikembangkan dengan cara-cara yang tidak keras, mungkin saja perkembangan penyebaran Islam bisa lebih pesat di Australia. Sebab, tidak sedikit kaum Atheis merasa gamang dengan kehidupan mereka saat ini yang melulu hanya berkutat pada masalah materi.

Keingintahuan para ’bule’ Australia yang saya temui dalam ceramah di tengah mahasiswa saya pikir bisa menjadi indikator awal ketertarikan mereka akan Islam. Sisanya, tinggal bagaimana komunitas muslim di Australia menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang universal dan jauh dari unsur kekerasan, tidak seperti yang tercermin dalam berbagai pemberitaan tentang terorisme.

Demikianlah, perjalanan dakwah saya di Australia yang penuh kesan. Selain menjadi perjalanan dakwah pertama saya keluar negeri, sejumlah hal berhasil saya raih. Yang pertama, tentu saja bisa bersilaturahim dan berbagi ilmu kepada para jamaah dari komunitas muslim Indonesia dan komunitas muslim lainnya. Yang cukup membanggakan adalah adanya perhatian dari Islamic Center Sultan Fatih hingga melahirkan kesepakatan kerjasama dengan Dompet Dhuafa. Sebagai Da’i Ambassador, saya merasa sangat bermanfaat.

Hingga tibalah saatnya meninggalkan Australia untuk pulang pada 10 Agustus 2013. Saya pun bisa bertemu kembali keluarga tercinta, melepas rindu setelah hampir sebulan merantau ke negeri orang. Sebuah pengalaman yang sangat berharga dan menjadi bekal untuk tugas-tugas dakwah saya selanjutnya.  (Budi Juliardi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *