Oleh: Ustadz Irfanudin (Dai Ambassador Dompet Dhuafa, 2018 – Korea Selatan)
Terjadi hal yang unik dalam perjalanan dakwah kali ini, yaitu saat proses pemberangkatan ke Korea Selatan, melalui program Dai Ambassador Dompet Dhuafa, tepatnya ketika di atas pesawat Thai Airliness, Sabtu (19/5). Ada dialog kecil antar saya dengan penumpang yang memiliki keyakinan yang berbeda, ia seorang non-muslim.
Saya mencoba memulai pembicaraan melalui perkenalan singkat. Ia bernama Gatot, dan akan mengikuti kegiatan konferensi internasional di Vatikan, Roma.
Sepanjang kebersamaan itu, ada dua topi yang kami bicarakan. Pertama, mengenai tujuan pemberangkatan saya ke Korea Selatan untuk dakwah kepada WNI yang berjumlah lebih dari 4.000 jiwa. Saya menyampaikan, jumlah WNI yang besar ini tetap membutuhkan sebuah transfer nilai dan penguatan agar semangat keagamaan tetap terjaga meskipun sedang berada di luar negeri. Ia mengiyakan, bahwa hal itu sudah menjadi bagian dari kebutuhan beragama, harus terus diedukasi agar umat sadar akan agamanya.
Saya menambahkan, WNI di Korea Selatan patut mendapatkan apresiasi karena turut menjadi bagian dari upaya transformasi nilai-nilai ketuhanan di negara tersebut. Tercatat ada 59 masjid atau mushola yang ada di Korea Selatan yang diinisiasi pendiriannya oleh WNI. Saya menceritakan ini semua dengan terbuka dan percaya diri, meski saya tahu bahwa ia berbeda kepercayaan.
Topik kedua masalah kondisi Indonesia terkini, yaitu bom yang terjadi di beberapa kota. Pak Gatot pun beranggapan bahwa tidak ada satu agama manapun yang mengajarkan nilai-nilai kekerasan apalagi sampai terbunuhnya nyawa manusia.
“Semua agama mengajarkan kedamaian,” tuturnya.
Kemudian saya menimpali, apa ini merupakan pengalihan isu dan elektabilitas yang mulai menurun drastis? Namun ia diam, tidak menjawabnya.
Dalam percakapan tersebut, poin yang saya garis bawahi sebagai ujung pembahasan adalah bahwa diperlukan adanya dialog yang intens antar agama-agama yang ada agar ketegangan tidak terjadi sampai kapanpun. Saya menyampaikan bahwa Islam adalah agama damai, dan isu minoritas atau mayoritas di Indonesia seringkali dijadikan komoditi baik dalam urusan politik atau lainnya, padahal sekian ratus tahun negeri ini ada dan umat Islam menjadi mayoritasnya, serta toleransi menjadi sebuah harmoni dan inti kebinekaan kita. Semoga kita bisa selalu menjaga keberagamaan ini dengan tetap konsisten terhadap kearifan yang kita miliki masing-masing.
Ada satu nilai yang ingin saya sampaikan melalui pengalaman ini, jika misi Dakwah Dompet Dhuafa terhadap non Musllim saja sangat mengedepankan nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin apalagi dengan sesama Muslim, maka para dai di manapun harus menjadi penghubung atau fasilitator sehingga nilai-nilai kebaikan bisa sampai dengan secara luas tanpa harus ada kebencian kepada siapa pun. Setiap penerima dakwah harus merasakan ketenangan dan kenyamanan dengan kehadiran seorang dai/duat, bukan sebaliknya.