Nilai-nilai ke-Islaman ternyata bisa juga terlihat dalam kehidupan masyarakat di negara yang tidak mengenal Tuhan. Hal yang cukup mengejutkan ini saya temui di Jepang ketika didaulat menjadi wakil Dompet Dhuafa dalam Program Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa). Kebetulan, saya dikirim ke “Negeri Matahari Terbit” untuk melakukan dakwah pada Ramadhan 1434 H lalu atau 19 Juli hingga 15 Agustus 2013.
Terus terang, saya belum pernah ke Jepang dan sedikit pun tidak bisa mengerti Bahasa Jepang. Namun, dengan modal kemampuan Bahasa Inggris dan tekad menyiarkan Islam, saya terima tugas dari Dompet Dhuafa dengan penuh semangat. Bagi saya, tugas ini adalah sebuah tantangan dalam dunia dakwah yang saya geluti.
Maka, pada 19 Juli 2013 sekitar pukul 23.30 WIB saya terbang ke Jepang. Perjalanan panjang selama sembilan jam saya lalui dengan tidur, diselingi makan sahur di dalam pesawat karena saat itu sudah dalam bulan Ramadhan. Berbekal nasi dan lauk di dalam kotak yang sebelumnya disiapkan istri tercinta, santap sahur saya lakukan dengan ‘khidmat’, sebab suasana di dalam kabin pesawat memang sangat sunyi dimana para penumpang lainnya sudah terlelap tidur.
Setibanya di Bandar Udara Internasional Narita, Jepang, hari sudah siang. Saya dijanjikan akan dijemput oleh perwakilan Dompet Dhuafa Jepang, Nur Ahmadi. Namun ternyata proses masuk ke Jepang sejak turun pesawat hingga lobby bandara penuh perjuangan. Di loket imigrasi saya harus menghadapi para petugas imigrasi yang mencecar dengan segudang pertanyaan. Masalahnya, pertanyaan yang mereka ajukan dalam bahasa Jepang sehingga saya tidak mengerti sama sekali. Sebaliknya, ketika saya coba berkomunikasi dengan Bahasa Inggris, tidak ada petugas yang mengerti.
Sampai akhirnya ada salah satu petugas yang bisa berbahasa Inggris langsung melontarkan sejumlah pertanyaan dan meminta saya memperlihatkan dokumen-dokumen. Salah satu syarat masuk ke Jepang, orang asing harus menunjukkan rekening tabungan dengan minimal jumlah tertentu. Kami sempat berdebat terkait masalah ini, karena saat itu saya tidak membawa catatan rekening tabungan. Saya beralasan, kedatangan saya atas undangan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jepang.
Perlu satu jam lebih meyakinkan para petugas imigrasi untuk mengijinkan saya masuk ke Jepang. Sempat saya perhatikan, seluruh penumpang yang satu pesawat dengan saya sudah selesai melakukan proses masuk di pintu imigrasi. Para petugas imigrasi baru teryakini begitu saya tunjukkan surat resmi dari kedutaan perihal undangan kedatangan saya ke Jepang. Alhamdulillah semua proses keimigrasian akhirnya selesai.
Pak Nur Ahmadi yang sudah menunggu di lobby bandara pun berhasil saya temui setelah berusaha mengontaknya berkali-kali melalui telepon genggam. Segera kami meninggalkan bandara menuju KBRI menggunakan kereta cepat untuk melapor perihal kedatangan saya. Dalam perjalanan, saya tak berhenti mengagumi Jepang. Suasana Negeri Sakura ini persis seperti yang saya bayangkan. Sepanjang mata memandang, semua terlihat bersih dan rapi. Kemajuan teknologi yang jauh melampaui Indonesia juga saya rasakan saat naik kereta cepat. Mulai dari pembelian tiket hingga sistem pengoperasiannya dilakukan secara otomatis.
Entah karena kecepatan kereta yang luar biasa atau saya terlalu banyak mengagumi Jepang hingga tak merasakan perjalanan, sebentar saja kami sudah berada di KBRI. Padahal, jaraknya cukup jauh dari Bandara Narita. Sesuai dengan invitasi kedutaan disebutkan bahwa selama berada di Jepang saya akan tinggal di Annex Building milik KBRI di Tokyo, Jepang yang lokasinya hanya 50 meter di seberang kantor KBRI. Pihak KBRI menginformasikan, Annex Building sudah bisa ditempati untuk tempat saya menginap. Namun, belum ada petugas KBRI yang dapat mendampingi saya untuk mengurus hal-hal yang diperlukan baik dalam proses menempati kamar di Annex Building, konsumsi selama di Jepang maupun keperluan lainnya. Petugas yang bertanggungjawab mendampingi saya kebetulan sedang pulang ke Indonesia. Maka, selama menunggu ketersediaan petugas lain, saya harus mencari alternatif tempat tinggal lain.
Atas permintaan Pak Nur Ahmadi, selama satu pekan pertama saya tinggal di kediaman Pak Debby, seorang tokoh muslim asal Indonesia yang sudah lama menetap di Jepang dan bekerja untuk salah satu perusahaan elektronik terbesar asal Jepang, Toshiba. Pak Debby tinggal di luar Kota Tokyo, tepatnya di Miyamaedaira, Kota Kawasaki, Perfektur Kanagawa. Jaraknya cukup jauh dari KBRI Tokyo, maka kami kembali naik kereta cepat.
Perubahan tempat menginap di pekan pertama ini tidak mengganggu agenda dakwah yang sudah disusun. Alhamdulillah, dakwah tetap dapat berjalan lancar sesuai jadwal, bahkan mendapatkan tambahan jadwal baru. Banyak permintaan mengisi pengajian dari komunitas muslim yang tinggal di Miyamadaira. Anggota komunitas ini kebanyakan para pekerja asal Indonesia yang sudah lama menetap di Jepang, bahkan sudah ada yang berkeluarga dan memiliki keturunan, seperti Pak Debby. Saat datang ke pengajian, mereka mengajak suami atau istrinya atau teman-temannya yang asli Jepang.
Maka, jadwal dakwah di komunitas ini saya sesuaikan agar tidak bertabrakan dengan agenda dakwah dan seminar di sejumlah universitas dan beberapa tempat lainnya. Kebanyakan, dakwah di komunitas digelar menjelang berbuka puasa, setelah berbuka, di sela-sela shalat tarawih atau selesai shalat tarawih berjamaah.
Dari sesi dakwah di komunitas inilah saya mendapat banyak informasi tentang Jepang yang belum saya ketahui sebelumnya. Sebab, jumlah anggota komunitas muslim yang berkumpul dalam satu sesi pengajian tidak banyak, sehingga membuka kesempatan untuk banyak berbincang satu sama lain baik masalah agama atau masalah lain.
Pada pekan kedua barulah saya pindah ke Annex Building di Meguro, Tokyo, Jepang setelah petugas yang mendampingi sudah datang. Alhamdulillah saya mendapatkan pelayanan yang cukup maksimal baik tempat tinggal, konsumsi maupun transportasi. KBRI menugaskan setiap atase secara bergiliran untuk mendampingi kegiatan saya setiap hari.
Dari Tokyo ini, kegiatan dakwah saya mulai berjalan dengan tertib sesuai agenda. Sasaran dakwah saya di Jepang antara lain, para mahasiswa muslim yang berasal dari berbagai negara termasuk Indonesia yang kuliah di sejumlah perguruan tinggi seperti Tokyo Institute of Technology, Gunma University, Sakito University dan Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Metode dakwah yang saya sampaikan berupa seminar, diskusi, dialog dan ceramah atau tausiah.
Tausiah hanya dilakukan pada forum pengajian yang lebih kecil. Sementara forum yang lebih besar seperti seminar dan dialog, saya lebih banyak melontarkan tema-tema budaya Islam. Sebab, pemerintah Jepang memang tidak mengizinkan adanya proses dakwah agama tertentu dilakukan secara terbuka.
Jepang memang tidak mengenal konsep agama, karena sebagian besar masyarakatnya atheis atau tidak beragama. Meski disebutkan bahwa agama tradisional Jepang adalah Shinto, agama tersebut sudah tidak dianut lagi. Saat ini Shinto tak lebih dari warisan leluhur sebagai bagian dari sejarah Jepang yang tidak lagi membudaya.
Ini saya buktikan ketika berkesempatan berbincang dengan sejumlah orang Jepang peserta seminar di Tokyo Institute of Technology, Gunma University dan Sakito University. Ketika saya tanyakan apa agamanya, mayoritas menjawab, “Saya tidak beragama”. Yang lainnya menjawab, “Saya tidak tahu”. Tidak ada yang menjawab bahwa agamanya adalah Shinto.
Dalam setiap data pemerintahan atau surat resmi lainnya tentang identitas penduduk seperti SIM, kartu pelajar atau kartu karyawan, status agama tidak pernah dicantumkan dan juga tidak akan pernah ditanyakan. Jadi, dalam hampir semua aktifitas sehari-hari mereka, nyaris tidak ada kesempatan untuk menjelaskan tentang identitas agama yang dianut.
Namun, pemerintah maupun masyarakat Jepang memiliki toleransi yang tinggi terhadap umat beragama. Masyarakat Jepang maupun pendatang dari negara lain yang memiliki agama tidak dilarang melakukan ritual keagamaannya selama tidak mengganggu ketertiban atau kenyamanan orang lain yang berada di sekelilingnya.
Jika ada ritual keagamaan yang dilakukan di satu rumah, namun dianggap terlalu bising sehingga mengganggu penduduk lain, misalnya, penduduk yang merasa targanggu bisa melaporkannya kepada petugas keamanan dan petugas akan membubarkannya. Bukan karena kegiatan ritualnya, tapi lebih karena adanya hak kenyamanan orang lain yang terganggu. Berbeda halnya jika ritual keagamaan tersebut dilakukan dengan tenang dan tidak menganggu kenyamanan penduduk lain, maka tidak akan ada yang keberatan dengan ritual tersebut.
Selain para mahasiswa, saya juga berdakwah di lingkungan KBRI yang diisi pejabat, pegawai, dan keluarganya yang tinggal di sekitar Tokyo. Dengan penuh semangat, secara rutin mereka mengadakan pengajian serta pesantren kilat pada Bulan Ramadhan. Khusus pada hari Sabtu dan Minggu, KBRI mengadakan buka puasa bersama yang sebelumnya diisi kajian dan tausiah dilanjutkan tanya jawab secara umum. Bahkan pada acara buka puasa bersama ini tidak sedikit masyarakat muslim yang tinggal di luar daerah, sengaja datang untuk menghadirinya meski mereka bukan pegawai atau keluarga pegawai KBRI.
Di sinilah saya merasakan “kehangatan kampung halaman”. Sebab, selain mayoritas jamaahnya adalah orang Indonesia, makanan yang disajikan saat berbuka puasa juga tak jarang ala Indonesia yang sesuai dengan lidah saya.
Suasana kekeluargaan lebih saya rasakan di Hari Raya Idul Fitri yang di Jepang jatuh pada tanggal 8 Agustus 2013. Saat itu KBRI lebih ramai lagi didatangi masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok Jepang. Bahkan ada yang sengaja menginap sejak satu hari sebelumnya untuk bermalam takbiran di KBRI. Sejak malam takbiran hingga selesai shalat Ied, makanan khas Indonesia selalu terhidang untuk disantap. Hal inilah yang mampu mengobati rasa rindu masyarakat Indonesia yang bermukim di Jepang, termasuk saya, meski keberadaan saya di Jepang hanya kurang dari satu bulan.
Karena banyaknya jamaah yang datang, sementara ruang yang tersedia di KBRI terbatas, maka shalat Idul Fitri dibagi menjadi dua gelombang, seperti tahun-tahun sebelumnya. Gelombang pertama dimulai pukul 7.30 waktu setempat. Sementara gelombang kedua dimulai pukul 8.30 pagi. Kebetulan saya diminta menjadi imam dan khotib pada shalat Id gelombang kedua.
Konsep Islam di Jepang
Kesempatan tinggal di rumah Pak Debby juga sangat saya syukuri karena memberi kesempatan untuk mengamati keseharian masyarakat Jepang di kota kecil seperti Kawasaki ini. Dari sinilah saya menilai bahwa konsep Islam ternyata sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang.
Nilai-nilai Islam itu antara lain, kebersihan, kedispilinan, ketertiban dan tepat waktu. Ketika baru tiba di Tokyo, saya langsung mengagumi suasananya yang nyaman karena setiap sudut kota terlihat bersih. Dalam hati saya menilai, wajar saja Tokyo bersih karena statusnya sebagai ibukota negara sekaligus pusat bisnis Jepang. Tapi ternyata bukan hanya Tokyo yang bersih. Di Miyamadaira, tempat saya bermukim selama sepekan pertama, sama bersihnya dengan Tokyo. Tak ada sampah berceceran. Hal itu sudah saya amati sejak dalam perjalanan dari Tokyo ke Miyamadaira. Dari dalam kereta saya bisa menyaksikan begitu bersihnya Jepang meski bukan di dalam kota besar.
Saya jadi teringat konsep kebersihan dalam Islam. Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersuci dan bersih baik lahiriah maupun batiniah. Tapi ternyata di Jepang secara lahiriah sudah diterapkan konsep Islam tersebut.
Dalam hal kedisiplinan, masyarakat Jepang juga sudah menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Setiap aturan yang dikeluarkan, baik oleh pemerintah maupun perusahaan selalu ditaati dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat. Tak ada yang berani melanggar peraturan tersebut meski tidak dalam pengawasan petugas yang berwajib dari pemerintah atau perusahaan. Dalam Islam, setiap umatnya dituntut untuk disiplin dalam menerapkan hukum-hukum Islam yang sudah ditetapkan Allah dan Rasulullah SAW.
Kedisiplinan ini seperti sudah membudaya sehingga melahirkan ketertiban dalam kehidupan masyarakat Jepang. Perihal lalu lintas misalnya, tak ada yang berani menerobos lampu merah meski dari arah lain sama sekali tidak ada kendaraan yang melintas.
Mengenai konsep waktu, Islam mengajarkan agar tidak membuang waktu dengan hal yang percuma meski hanya satu menit. Hal inipun sudah diterapkan oleh masyarakat Jepang dengan menghargai waktu. Dalam bidang pekerjaan, jika ada pekerja Jepang yang datang terlambat walau satu menit, maka ia lebih baik pulang. Di samping merasa malu, memang semua perusahaan di Jepang menerapkan kebijakan tidak membolehkan masuk karyawannya yang datang terlambat.
Hal lain yang membuat saya kagum dari sikap masyarakat Jepang adalah mentalnya yang tegar dan tidak pernah meminta belas kasihan. Contoh yang saya alami secara langsung adalah ketika saya naik kereta cepat. Saya bersama Pak Nur Ahmadi berangkat dari stasiun Meguro di Tokyo menuju Okayama. Di dalam kereta yang kami tumpangi, ada seorang kakek tua berdiri karena tidak mendapat tempat duduk. Sementara saya dan Pak Nur Ahmadi mendapat tempat duduk yang nyaman.
Saya berniat akan memberikan kakek tua tempat duduk saya, karena Islam mengajarkan untuk menghormati orang tua, wanita, atau orang lain dengan cara membantu mereka jika mengalami kesulitan. Namun, Pak Nur Ahmadi mengingatkan bahwa hal itu mungkin akan membuat sang kakek tersinggung.
Karena penasaran, saya kembali bertanya mengapa bantuan yang diberikan orang lain bisa membuat mereka tersinggung. Setelah dijelaskan baru saya mengerti bahwa orang Jepang tidak ingin dianggap lemah. Meski sudah tua, kakek tersebut masih memiliki harga diri untuk tetap berdiri.
Konsep Islam yang ternyata sudah diterapkan oleh masyarakat Jepang ini memberi saya inspirasi. Fenomena ini selalu saya ungkapkan dalam setiap agenda dakwah yang saya lakukan di Jepang. Ternyata, apa yang saya ungkapkan ini menarik perhatian sejumlah masyarakat Jepang. Seperti saat mengunjungi Tokyo Institute of Technology misalnya, usai memberikan materi seminar, saya berbincang-bincang dengan tiga orang Jepang peserta seminar.
Mereka banyak bertanya mengenai konsep Islam di Jepang yang baru saja saya sampaikan sebelumnya. Dari pertanyaannya, mereka terlihat antusias ingin mengenal lebih dalam mengenai Islam. Kepada mereka saya katakan bahwa sangat mudah bagi masyarakat Jepang untuk masuk Islam.
“Karena saya baru melihat begitu mudahnya masyarakat Jepang menerapkan nilai-nilai keislaman, maka sebetulnya sangat mudah bagi kalian untuk masuk Islam. Hanya tinggal mengucapkan syahadat saja. Seperti apa syahadat, mari sama-sama kita baca syahadat,” ujar saya menjelaskan sambil bercanda.
Lalu setelah itu mereka bersama-sama mengikuti saya membaca syahadat meskipun saat itu saya tidak berniat untuk meng-Islamkan mereka.
Dua Kalimat Syahadat Megumi-san
Tapi, ada satu penduduk asli Jepang yang benar-benar saya bimbing menjadi muallaf. Namanya Megumi-san, seorang gadis alumnus salah satu universitas terkemuka di Jepang.
Awalnya, pada pekan ketiga kunjungan saya di Jepang, saya didatangi salah seorang jamaah dalam ceramah di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT), Meguro, Tokyo. Setelah mengenalkan diri dan berbincang-bincang, lelaki bernama Bambang ini meminta saya untuk memimpin istighotsah di kediamannya yang diadakan keesokan harinya. Karena tidak berbenturan dengan agenda dakwah, maka saya menyanggupi permintaan tersebut.
Di rumahnya, Pak Bambang mengenalkan diri dan keluarganya lebih dalam. Dari ceritanya saya mengetahui bahwa beliau sudah 20 tahun lebih menetap di Jepang dan memiliki istri asal Jepang yang sudah menganut Islam bernama Michie Kamei. Lelaki asal Kalimalang, Jakarta Timur itu juga merupakan satu-satunya orang Indonesia yang turut berperan dalam pembangunan salah satu terowongan di dasar laut terpanjang di dunia, yang menghubungkan Kota Kawasaki di Perfektur Kanagama dan Kota Kisarazu di Perfektur Choba. Terowongan bawah laut itu memiliki panjang 16 kilometer yang dibangun pada tahun 1992.
Setelah banyak bercerita, istighotsah pun dimulai ba’da asar. Sebelumnya, saya sempat menyampaikan tausiyah pertama dengan bahasan “Islam Agama Fitrah dan Rahmatan lil’Alamiin”. Setelah berbuka puasa bersama dan shalat maghrib berjamaah, dilanjutkan dengan dialog umum. Pada saat inilah beberapa non-muslim Jepang yang mengikuti acara sejak awal, ingin mengenal Islam lebih dekat.
Kami juga mengadakan dialog internal yang dilakukan secara bergantian. Dialog ini dilakukan lebih tertutup karena disesuaikan dengan permasalahan hidup yang dihadapi masing-masing jamaah, agar lebih menyentuh substansi permasalahan dengan solusi yang Islami. Michie Kamei berperan sebagai penerjemah sejak tausiyah pertama hingga sesi dialog internal ini. Dengan demikian, setiap jamaah dapat mengerti apa yang saya sampaikan dan dialog pun menjadi lebih efektif.
Saat itu Megumi-san datang di urutan pertama sesi dialog internal. Ia meminta penjelasan langsung tentang bagaimanakah agama Islam yang sebenarnya. Setelah saya memberikan penjelasan seperti yang saya lakukan kepada tiga peserta seminar mengenai konsep Islam yang sebetulnya sudah saya lihat di Jepang, alhamdulillah dengan rahmat dan izin Allah SWT, Megumi-san mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam. Saya membimbing Megumi-san mengucapkan kalimat syahadat yang disaksikan oleh para jamaah yang hadir pada malam itu.
Di Jepang memang sangat jarang terjadi proses peng-Islaman. Dalam sehari mungkin tidak lebih dari lima orang yang mengikrarkan syahadat untuk menjadi muallaf. Bukan hanya Islam, semua agama besar di dunia seperti Katolik, Protestan, Buddha dan Hindu juga mengalami kesulitan dalam menyampaikan misinya atau melakukan dakwahnya di Jepang, apalagi untuk menarik masuk ke dalam agama-agama tersebut. Kembali lagi, hal ini karena masyarakat Jepang tidak memandang penting sebuah agama. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana menjalani kehidupan dengan efektif tanpa harus disusahkan dengan aturan agama.
Dari segelintir penduduk Jepang yang memilih menjadi muallaf itu, kebanyakan didorong oleh ketertarikan akan keindahan budaya Islam yang mereka lihat secara visual. Misalnya, kekaguman akan arsitektur masjid, kaligrafi, ukiran dan sejenisnya. Hal ini saya ketahui setelah berbincang-bincang dengan salah satu pengurus Masjid Turki di Tokyo.
Dengan desain arsitektur yang unik dan kemegahannya, masjid ini memberikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat Jepang. Tidak sedikit warga Jepang datang ke Masjid Jamii Turki ini hanya untuk mengagumi rumah ibadah yang mereka anggap sebagai obyek wisata. Sementara, orang-orang Turki pengurus masjid menangkap fenomena ini sebagai momen untuk menyebarkan Islam.
Mereka tidak pernah mengusir para pengunjung yang mayoritas bukan muslim. Justru, setiap hari mereka menyediakan pemandu untuk menyampaikan keluhuran, makna dari konsep Islam yang terkandung dalam arsitektur bangunan masjid. Dengan menggunakan Bahasa Jepang yang fasih dan jelas, mereka tanamkan nilai-nilai Islam yang indah kepada para pengunjung. Hasilnya, Masjid Jamii Turki menjadi masjid yang banyak menarik warga Jepang masuk Islam.
Sayangnya, jumlah bangunan masjid di seluruh Jepang tidaklah banyak. Bukan karena pemerintah Jepang melarang muslim membangun masjid, tapi akibat mahalnya lahan. Masjid tertua di Jepang adalah Masjid Kobe yang didirikan tahun 1928 oleh pedagang dari India, sedangkan masjid tertua di Tokyo adalah Masjid Jamii. Masjid ini didirikan pada 1938 oleh orang-orang Turki.
Dari segi bentuk fisik, masjid yang ada di Jepang hampir tidak ada bedanya dengan bangunan masjid di tanah air, besar, megah dan indah serta tidak ketinggalan bangunan menara dan kubah besarnya. Namun masjid dengan katagori seperti di atas jumlahnya tidaklah banyak karena sebagian besar lainnya hanyalah berupa bangunan rumah sederhana, apartemen atau ruangan kosong yang disewa bersama oleh beberapa orang.
Uniknya, tidak seperti di Indonesia, pengeras suara masjid tidak pernah terdengar keluar. Maka, adzan maupun khutbah hanya bisa didengar dari dalam masjid. Kebisingan dari pengeras suara, tidak hanya dari masjid, memang dilarang oleh pemerintah setempat karena dinilai mengganggu kenyamanan orang lain.
Menjadi minoritas di negeri atheis memang tidak menyenangkan karena banyak keterbatasan dalam melakukan ibadah. Maka, saya sangat terharu melihat semangat kaum muslim di Jepang, baik muslim asal Indonesia, asli Jepang maupun dari negara lain dalam menjalankan ibadah. Hal ini juga memberi saya semangat untuk lebih giat berdakwah. Saya baru menyadari bahwa ternyata ada tantangan berdakwah yang jauh lebih berat dibandingkan apa yang saya lakukan sehari-hari di Indonesia.
Pengalaman ini sangat berharga bagi saya sebagai bekal dalam memberi motivasi kepada kaum muslim di Indonesia yang sebetulnya jauh lebih mudah menjalankan agama, namun justru masih banyak yang lalai.
Maka, ketika kembali ke Jakarta pada 16 Agustus 2013, saya simpan kenangan di Jepang di dalam hati dan tidak akan saya lupakan pengalaman ini sebagai bagian dari sejarah hidup saya di dunia dakwah. (Amin Munawar)