YANGON, MYANMAR—Sejak awal saya datang ke Yangon, pada Rabu (8/5/2019) lalu, dan tiba di wisma mitra KBRI Yangon pukul 22.00 waktu setempat (lebih cepat 30 menit dari waktu Indonesia bagian barat). Ada suasana yang berbeda ketika hendak merebahkan tubuh untuk melepas lelah setelah seharian melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Yangon. Malam itu terdengar suara-suara burung Gagak yang fenomena di Indonesia adalah suara kematian.
Burung Gagak di Indonesia (sunda mengistilahkan dengan manuk cungcuit) sudah langka bahkan bisa dikatakan tidak ada di pemukiman penduduk pada atau perkotaan. Akan tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia kerap meyakini jika mereka mendengar suara burung Gagak itu pertanda bahwa besok akan ada penduduk setempat yang meninggal dunia. Bahkan di kampung saya sendiri, Serang, masyarakat masih percaya akan hal-hal seperti itu.
Di Yangon burung Gagak ini bebas terbang, di wisma tempat saya tinggal pun terdapat banyak burung Gagak dan saling saut antara satu dengan yang lainnya, bahkan saya menulis artikel ini pun sembari mendengarkan kicauan burung Gagak. Mereka tinggal di pohon-pohon besar yang ada di area wisma.
“Burung Gagak ini dipercayai oleh Masyarakat Yangon, jika mereka terkena kotorannya ketika sedang berjalan, maka mereka akan mendapatkan rezeki nomplok,” ucap Purnama alumni UPI Bandung dan salah seorang ASN yang dikim oleh Kemdiknas pemerintah Indonesia untuk mengajar di Sekolah Indonesia Yangon selama 4 tahun.
Alhasil, saya mengajak pembaca, mulai saat ini kita jauhkan presepsi tentang suara burung Gagak adalah suara kematian, karena keyakinan tersebut dapat memudarkan aqidah. Kita mengubah paradigma bahwa suara burung Gagak adalah kicauan yang indah layangnya burung-burung lain yang dikonteskan. (Ust. Budy Budiman/Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Myanmar)
Baca Juga: