Wassalam.
Jawaban:
Musafir memang diperbolehkan tidak berpuasa karena memang ada dispensasi (rukhshah) dan wajib mengganti puasa Ramadan yang tidak dikerjakannya itu (qadha)’ di luar bulan Ramadan.
Namun ada beberapa aturan fikih agar musafir memperoleh rukhshah untuk tidak berpuasa, yaitu:
- Perjalanan safarnya bukan untuk maksiat. Mudik tentunya bertujuan siaturahmi sehingga sah saja musafir tidak berpuasa dan qadha di bulan lain.
- Jarak safarnya telah mencapai dua marhalah, yaitu 4 burud atau 16 farsakh, jika dikonversikan sekitar 88 KM (Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuh, Wahbeh Az-Zuhaili). Jakarta-Jogja tentu sudah melebihi 88 KM dan tentunya sudah masuk kriteria.
- Berangkat safarnya (mudik) harus dilakukan sebelum masuk waktu subuh dan sudah berada di luar kampungnya. Jika berangkatnya setelah salat subuh, maka saat itu Anda dan keluarga masih dalam kondisi muqim dan belum bisa di sebut musafir. Artinya, jika Anda dan keluarga berangkat mudiknya setelah salat subuh, maka Anda dan keluarga tetap wajib berpuasa di hari itu. Jika dalam perjalanan mudik tersebut Anda jatuh sakit, maka Anda boleh memilih tetap berpuasa atau berbuka.
Untuk memperluas pemahaman tentang status muqim dan musafir, berikut contohnya:
Keluarga Pak Mahmud berangkat mudik dari Jakarta menuju Banyuwangi. Pak Mahmud dan keluarga berangkat mudik setelah melaksanakan salat zuhur pada hari Sabtu. Maka pada hari keberangkatan, Pak Mahmud dan keluarga masih berstatus muqim dan wajib berpuasa pada hari itu. Karena padatnya arus mudik, maka esoknya (hari Ahad) Pak Mahmud masih berada di dalam kendaraan. Karena masih dalam perjalanan, maka status Pak Mahmud dan keluarga adalah musafir dan diperbolehkan untuk berbuka dan wajib mengqadha’ puasa di bulan lain. Selain memperoleh rukhsah untuk berbuka, Pak Mahmud dan keluarga juga boleh menjama’ dan mengqashar salat.
Demikian, semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam.
Tim Cordofa.
Referensi:
Foto : Unsplash