“Saya ga mau anak-anak saya jadi ustadz atau kyai. Bagi saya, yang penting mereka shalat lima waktu, puasa Ramadan, bayar zakat dan pegi haji kalo sudah waktunya. Rukun Islam kan cuma itu doang. Makanya saya ga pernah sekolahin mereka di sekolah yang ada agamanya kaya Madrasah, apalagi pesantren! Saya udah panggil guru ngaji kok ke rumah, ngasih les baca Qur’an buat mereka. Asal baik sama orang, sopan dan ga bikin ulah. Udah, itu aja. Ga perlulah belajar agama banyak-banyak karena mereka semua saya arahkan untuk menjadi dokter, tentara, pilot atau apa saja, asal jangan ustaz atau kiai!” ujar Pak Fulan kepada temannya yang pengusaha itu.
“Sama dong pak, anak-anak semua saya sekolahin di sekolahan nonmuslim. Bukan apa-apa sih, sekolahan nonmuslim lebih disiplin, sopan-sopan anaknya dan satu lagi nih yang bikin saya senang, juara umum terus kalo lomba!” ujar teman Pak Fulan menanggapi obrolan tersebut.
Obrolan semacam tadi bukan hoaks apalagi karangan penulis. Bukan! Penulis ada di tengah-tengah mereka saat itu. Awalnya kami bicara perkembangan politik yang terjadi di tanah air. Tidak tahu bagaimana jadinya kok obrolan kami menjadi melebar ke sana-sini dan tercetuslah percakapan pak Fulan tadi dan langsung diamini oleh kawannya itu. Sepertinya omongan itu tercetus karena ada politikus yang masuk ke jeruji besi lantaran tertangkap tangan KPK dalam kasus dugaan korupsi. Politikus yang “diseret” KPK itu memang orang yang kesehariannya sangat terlihat agamis, berpeci, dan sering sekali mengutip ayat atau hadis ketika diwawancarai media atau ketika tampil di muka publik dalam acara-acara sosial, apalagi menjelang PILKADA.
Penulis saat itu tidak diberi ruang untuk menanggapi obrolan mereka, padahal kami hanya bertiga. Entah karena mereka menyadari bahwa penulis sering mengisi kajian di berbagai majelis taklim atau instansi pemerintah maupun swasta, ya gampangnya kata orang ustazlah, begitu! Karena tidak diminta menimpali, penulis hanya diam dan mereka mengalihkan obrolan seru mengenai bisnis-bisnis mereka yang tengah berjalan. Terlihat obrolan mereka bertambah seru dan bersemangat untuk hal ini. Karena sudah hampir dua jam penulis menjadi pendengar setia obrolan mereka yang sangat seru itu, apalagi sedikit-sedikit terdengar angka “Em- eman”, terpaksa penulis harus pamit karena sebentar lagi harus mengisi kajian ba’da ashar di sebuah masjid.
Jika saja saat itu penulis diberikan sedikit waktu untuk menanggapi atau dimintai pendapat, tentu penulis akan menjawab seperti ini:
“Belajar agama itu suatu keharusan. Bukan cuma komplementer dalam kehidupan. Agama itu bukan hanya rukun Islam, tok! Agama juga bicara teologi, spiritual, hubungan sosial dan juga akhlak dan ontegritas. Agama juga bicara halal-haram yang dikenal dengan istilah Fiqh atau syariat. Belajar agama itu bukan harus jadi kyai atau ustadz.”
“Boleh saja jadi dokter, pengusaha, pilot, dosen, pejabat, politikus atau apa saja profesinya tapi harus bertakwa. Orang yang beriman dan bertakwa itu bukan hanya salat lima waktu saja, tapi juga harus paham tauhid. Salah bertauhid bisa kacau jadinya! Juga harus tahu fikih dalam keseharian. Jangan sampai gelar akademiknya Dr atau Ph.D, tapi mandi junubnya tidak sah karena tidak mengerti Bab Thaharah. Jika mandi junubnya tidak sah, bagaimana dengan salatnya?” Jika istinja’nya asal-asalan, bagaimana dengan salatnya?
“Ilmu agama justru harus jadi prioritas, bukan komplementer alias pelengkap! Menyekolahkan anak ke sekolah umum tidak masalah, selama mereka tetap dibekali ilmu agama melalui jalur privat. Jangan cuma 60 menit seminggu sekali! Bekali anak-anak kita dengan ilmu agama sebanyak-banyaknya agar jangan salah kaprah dalam beragama. Yang namanya bekal tentu tidak sedikit! Sebanyak-banyaknya! Coba saja nekat berangkat ke Jerman dengan bekal apa adanya walaupun tiket pesawat, visa dan paspornya gratis! Untuk hal keduniaan yang paling lama 80 tahun ini saja jor-joran, apalagi untuk ilmu agama yang manfaatnya dunia dan akhirat, harusnya lebih banyak dan maksimal bekalnya!
Firman Allah SWT:
وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
“Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (Q.S. Al-Baqarah: 197).
Salah satu jalan takwa adalah belajar ilmu agama. Tidak mungkin bisa bertakwa jika tidak mengerti halal-haram, tata cara ibadah, muamalah dan lainnya.
Satu lagi, sekolah-sekolah yang menerapkan kedisiplinan, akhlak dan hal lainnya bukan hanya dimonopoli oleh nonmuslim. Bukalah mata selebar-lebarnya, lepas kaca mata hitam, jika kurang jelas juga boleh pakai lup! Sekolah-sekolah Islam sudah banyak yang bagus, bahkan lebih bagus dari sekolah-sekolah nonmuslim!
Maaf ya, penulis bukan emosi, hanya ingin meluruskan pandangan mereka yang sayangnya tidak kesampaian saja. Curhatkah? Terserah pembaca saja, hehe.
Wallahu A’lam.
Tim Cordofa
Foto : Unsplash