Konamin, seorang lelaki dewasa, usia hampir 40 tahun, wiraswasta dan belum menikah. Ia sangat mendambakan Markonih, gadis muslimah yang sangat taat beragama walaupun bukan putri seorang ustaz. Rumah Markonih dan Konamin tidak begitu jauh, hanya beda RT saja.
Sudah bertahun-tahun Konamin memendam rasa cintanya yang begitu besar kepada Markonih. Atas saran dari kawan-kawan Konamin yang rata-rata sudah memiliki anak, akhirnya Konamin memberanikan diri untuk melamar Markonih.
Singkat cerita, Konamin menemui orang tua Markonih dan bermaksud melamar Markonih. Orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada Markonih untuk menerima atau menolak lamaran tersebut.
Dengan penuh kelembutan, Markonih berkata kepada Konamin: “Pertama, saya menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Mas Konamin yang telah memilih saya untuk dijadikan calon istri. Kedua, saya sangat menginginkan seorang suami yang taat beribadah agar menjadi imam yang baik untuk keluarga. Oleh karena itu saya mengajukan syarat kepada mas Konamin. Mas Konamin harus shalat berjamaah lima waktu di masjid dekat rumah saya selama 40 hari berturut-turut tanpa putus. Agar memudahkan pengontrolan, Mas Konamin harus melewati rumah saya agar bisa saya absen. Jika Mas Konamin mampu melaksanakan syarat ini, maka lamaran saya terima! Bagaimana, Mas Konamin?”
Dug! Kepala Konamin auto pening dan dadanya sedikit sesak. Dia menyadari bahwa selama ini, shalat lima waktunya masih bolong-bolong, bahkan sehari saja rata-rata hanya shalat maghrib dan isya saja, itu pun jika sempat. Tapi demi cinta membara, ia menyanggupi, namun meminta keringanan hanya shalat maghrib, isya’ dan subuh saja, karena zuhur dan ashar ia tidak bisa shalat di masjid dekat rumah Markonih karena sibuk bekerja, kecuali Sabtu dan Minggu saja.
“Baiklah, mulai besok subuh, syarat ini sudah harus dijalankan Mas Konamin,” ujar Markonih tanpa ragu.
Dan betul saja, baik Konamin dan Markonih sama-sama komitmen dengan persyaratan tersebut. Dari hari pertama sampai ke 25, Konamin tidak pernah absen shalat jamaah di masjid dekat rumah Markonih. Begitu pun Markonih, sangat serius mengabsen Konamin.
Tapi di hari ke 26, Konamin mulai absen. Markonih tidak mendapati lambaian tangan dan semyum percaya diri Konamin sebagai tanda bahwa ia datang, tidak bolos. Hal ini membuat markonih sedikit lega karena syarat yang diberikannya kepada Konamin sebetulnya hanya cara halus untuk menolak lamaran Konamin. Markonih yakin Konamin tidak akan sanggup. Markonih sangat yakin jika Konamin bukanlah orang yang pantas menjadi suaminya kelak.
Hari ke 27, 28 sampai hari ke 29, Markonih tidak melihat batang hidung Konamin. Dengan sangat bersemangat dan senyum ceria, Markonih berkata kepada ayahnya, pak Sudrun: “Ternyata, taktik saya cukup jitu! Mas Konamin tidak bisa memenuhi persyaratan yang saya buat. Saya sangat lega!”
Satu jam kemudian, Markonih tak sengaja berpapasan dengan Konamin dan langsung saja ia berpura-pura empati kepada Konamin: “Mas, kenapa hanya bertahan sampai hari ke 25 saja? Kamu tidak sanggup? Padahal saya menaruh harapan besar lho kalo Mas mampu memenuhi syarat dari saya.”
“Jujur, awalnya niat saya shalat berjamaah di masjid itu murni untuk memenuhi syarat darimu. Saya tidak ikhlas karena Allah, saya tidak Lillahi Ta’ala! Tapi Alhamdulillah, setelah 15 hari saya tidak putus berjamaah, Allah membuka hati saya. Ternyata shalat jamaah itu nikmat dan Alhamdulillah sudah menjadi kebutuhan saya. Sekarang masjid bagi saya adalah rumah ternyaman di dunia karena dia adalah Rumah Allah. Sekarang saya ikhlas Lillahi Taala untuk shalat berjamaah dan berusaha menjadi hamba yang baik dan selalu menaati apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Ia larang. Agar menjaga hati, mulai hari ke 26, saya tidak lagi melewati rumahmu untuk absensi. Saya melewati jalan lain menuju masjid yang sama. Terima kasih atas syarat yang kamu berikan. Itu adalah cara Allah untuk memberi hidayah kepada saya. Sekali lagi, terima kasih!” ujar Konamin.
Duar! Betapa terkejut dan malunya Markonih mendengar jawaban dari Konamin dan membuatnya auto tertegun. Matanya berkaca-kaca setelah Konamin pergi menuju masjid. Ia salah sangka. Ternyata Konamin adalah sejatinya pria yang ia idam-idamkan selama ini.
Tanpa berdiam lama, markonih berlari sekencang-kencangnya menuju rumah. Sesampainya di rumah, ia berlutut di hadapan ayahnya. Sambil menangis tersedu dan penuh harap, ia berkata: “Abah, saya salah sangka sama Mas Konamin. Dia adalah pria idaman saya. Saya mohon dengan sangat agar ayah segera menemui Mas Konamin dan membujuknya agar ia menerima saya sebagai calon istrinya. Saya mencintainya karena Allah. Dia telah menemukan kenikmatan beribadah dan bertakwa kepada Allah. Saya mohon dengan sangat, Abah!”
“Lih, Konamin udah naek level die! Harusnya semue orang Islam naik level abis puase romadon tige pulu ari. Dia rajin terawe, rajin bace qur’an di bulan Romadon. Harusnye kite semua dapet kenikmatan ibadah dan jadi candu! Abis lebaran harusnye kite makin rajin ke masjid, rajin bace quran dan makin tinggi takwenye!” ujar Kong Ali kepada cucunya, Malih.
Wallahu A’lam.
Tim Cordofa.
Foto : Unsplash