Ghouta, Suriah, sebagai ambang bencana kemanusiaan. Kota itu terkepung oleh senjata melalui darat dan udara, menyisakan tumpahan darah di sepanjang jalan. Suara dentuman dan tembakan saling bersahutan bersama teriakan, dan di antara reruntuhan bangunan napas telah terlebih dahulu meninggalkan raga-raga tidak berdosa. Ia adalah anak-anak, wanita, dan lanjut usia.
Luka dan duka Ghouta sampai pula pada hati anak-anak pedalaman Halmahera. Keterbatasan tinggal di pelosok tidak menjadi kendala bagi mereka untuk tetap peduli kepada saudara seiman di luar sana. Di tengah kekurangan, mereka pun ikut mengambil bagian dan rela menyisihkan uang saku hasil jerih payahnya sendiri untuk membantu warga sipil suriah yang menjadi korban kekejaman konflik.
Baca Juga: Kontribusi Muslim Palestina di Athena
Setiap hari anak-anak ini berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki menelusuri perkampungan dan jarang mendapat uang jajan dari orang tua, karena sebagian besar dari mereka adalah anak petani kebun. Alhasil, untuk membantu saudara-saudara di Ghouta, mereka harus mencari buah kelapa yang sudah jatuh di kebun untuk dijual. Meskipun perbuah kelapa hanya terjual seribu rupiah, namun rasa kepedulian terhadap sesama tidak surut dalam hatinya, mereka tetap berinfak. Uang yang sudah terkumpul diserahkan kepada Ustadz Nurhadi selaku guru ngajinya, yaitu salah satu Dai Bina Sahabat Pedalaman Cordofa (Corps Dai Dompet Dhuafa) yang tengah mengabdi di wilayah terpencil Halmahera.
Ustadz Nurhadi pun merasa terenyuh melihat perjuangan dari santri-santrinya. Rasa cinta telah lahir dalam hati mereka yang masih belia untuk peduli pada suadara seiman, sekalipun itu terpisah jarak dan tatap wajah.
“Kegiatan ini telah melatih rasa simpati dan empati anak-anak pedalaman, bahwa kita punya saudara-saudara Muslim di dunia yang sedang tertimpa musibah,” ujarnya sembari berharap semoga Allah melimpahkan kebaikan dan kebarkahan kepada semua, khususnya saudara-saudara di Suriah.