Saya ingat ketika kecil, bersama dengan teman-teman, di tempat kami biasa belajar mengaji, kami sering sekali mendengarkan kisah-kisah tentang kehidupan para nabi, sahabat dan orang-orang shalih. Sampai-sampai kami lebih senang mendengarkan guru kami berkisah daripada belajar baca tulis al Quran.
Hal yang sama juga saya alami di bangku sekolah dasar. Semua guru mata pelajaran agama selalu setia menyuguhkan kami kisah-kisah menakjubkan mereka. Tidak ada alasan bagi kami untuk merasa bosan mendengarkan kisah yang sama berulang kali, karena pada momen itulah kami merasa bahwa diri kami menjadi bagian dalam kisah itu. Membayangkan kisah itu kembali terjadi dan kamilah tokoh utamanya.
Dan kini, di saat kami telah melupakan semua kisah itu, saat dimana kami percaya bahwa kisah itu tidak mungkin terulang kembali, tepat di depan mata semuanya telah berubah nyata. Hanya saja, bukan kami tokoh utamanya, tapi saudara-saudara kami di Suriah sana.
#AleppoIsBurning
Berdasarkan laporan dari satuan tugas kedaruratan warga Syria Civil Defence, terhitung selama sembilan hari sejak 22 April 2016, rezim Suriah di bawah kendali Bashar al Assad yang didukung oleh Iran dan Rusia telah membakar warga kota Aleppo dengan lebih dari 260 serangan udara, 110 artileri, 18 peluru kendali, 68 bom, dan membantai lebih dari 200 warga, serta melukai ratusan lainnya.
Hingga untuk pertama kalinya dalam kurun lebih dari 1 milenium (1000 tahun), masjid-masjid Aleppo tidak melangsungkan shalat Jum’at pada 29 April 2016. Demikian laporan dari kantor berita Asy-Syarq al-Awsath.
Dalam rilisnya, LSM Sahabat Suriah menyatakan bahwa dalam tanggal yang sama, RS al-Quds telah dihancurkan yang mana merupakan salah satu tindak kejahatan militer yang mereka lakukan dari rangkaian panjang sejak lima tahun lalu.
Atas tragedi yang menimpa Aleppo, Perserikatan Bangsa-Bangsa pun membuat pernyataan bahwa, “Satu nyawa melayang setiap 25 menit di Aleppo”.
Semua kisah ini bermula pada kekecewaan rakyat Suriah terhadap rezim Bashar al Assad yang otoriter dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dan aksi damai menuntut keadilan yang dilakukan warga Suriah dibalas dengan kekerasan oleh rezim tersebut.
Puncaknya adalah ketika ada seorang anak Suriah yang menuliskan kata-kata di tembok tentang Bashar al Assad, kemudian anak ini dibawa oleh tentara al Assad untuk diinterogasi dan disiksa secara sadis.
Demi menyambut hati nurani yang tidak tega atas kejadian itu, rakyat Suriah bergerak melakukan revolusi (perlawanan) terhadap rezim al Assad. Bukan saja untuk menggulingkan tampuk kepemerintahannya, tapi juga untuk menegakkan tauhid Islam di bumi Suriah. Menyapu bersih jejak-jejak penuhanan terhadap Bashar al Assad.
Di dalam surat al Buruj dari ayat pertama sampai dengan sembilan, Allah menyatakan dalam firman-Nya sebuah kisah yang kini dikenal dengan kisah Ashabul Ukhdud.
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu”.
Kisah Ashabul Ukhdud menceritakan tentang seorang Raja yang membunuh rakyatnya dengan melemparkannya ke dalam parit yang berapi karena mereka lebih memilih mengimani Allah sebagai tuhan mereka daripada menuhankan sang Raja.
Hari ini. Ketika lalu lintas persenjataan berjalan tanpa hambatan, mampu digunakan oleh siapapun. Disaat nyawa dapat melayang setiap saat. Masihkah ada kedamaian yang bisa ditawarkan ? inikah yang disebut dengan keadilan ?
Suriah membutuhkan uluran tangan, bukan harapan. Ketika pembunuhan terjadi tanpa melibatkan perasaan, itulah saat dimana pembunuhan paling bodoh tercipta. Dan manusia menjadi lebih kejam daripada hewan buas. (M. Azzam Alghifary)
One thought on “Aleppo: Ashabul Ukhdud Abad 21”